NTT miskin, masih maukah jadi PNS?


Seorang teman Facebook di ibu kota pagi ini menulis sebuah tautan yang cukup nyentrik. "Enak yah, jadi PNS. Masuk Senin-Jumat, Sabtu-Minggu ikut senam," tulisnya di laman beranda. Ragam tanggapan puncul. Salah seorang facebookers menulis di laman komentar, "Gimana hasil tes kemarin yah?"

Siapa sih yang tak ingin jadi PNS di DKI Jakarta? Tahun 2015 lalu misalnya, Gubernur Basuki T Purnama (Ahok) mewacanakan kenaikan gaji PNS sebesar Rp 13 hinga Rp 70 juta untuk menggenjotkan kinerja para pegawai. Dan usulan ini sudah disetujui Menpan RB Yuddy Chrisnandi melihat PAD DKI sebesar Rp 73 triliun dan belanja pegawai hanya 24 persen dari APBD.

Penulis yakin, status teman Facebook tadi tidak bermaksud menyindir PNS di DKI. Tapi berangkat dari kegundahannya akan menjadi nasib PNS di NTT.

Ada apa dengan PNS di NTT?

Menjadi PNS masih menjadi favorit bagi kalangan umum terutama bagi fresh graduate di NTT. Kenyataan ini tidak bisa kita pungkiri. Sebab, tingginya angka kelulusan dari universitas dari tahun ke tahun justru tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja. Pilihan menjadi PNS tetap menjadi tujuan utama setelah lulus kuliah, selain tempat kerja seperti Bank, media, rumah sakit, sekolah, dealer, hotel, restoran, biro wisata dan tempat kerja lain yang belum sepenuhnya menyerap tenaga kerja.

Mirisnya, dari ribuan lulusan di puluhan universitas setiap tahunnya, banyak anak muda di NTT menjadi tenaga kerja sukarela. Program SM3T dua tahun lalu belum menjadi solusi untuk hal ini. Itupun belum terhitung dengan tenaga honorer yang diupah kecil (masih ada guru honorer yang digaji Rp 300 per bulan, itu kenyataan).

Haruskah menjadi PNS?

Jangan pernah membandingkan gaji PNS di DKI Jakarta dengan NTT. Kebijakan Ahok sangat tergantung PAD DKI yang besar. PAD NTT tahun 2015 sebesar Rp 717,54 miliar yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahan, dll (infonya, PAD ini diklaim lebih dari target Rp 872,54 miliar). Dan dari total PAD ini, belanja pegawai masih dominan di atas 50 persen dari APBD. Maka tak heran, Menteri Yuddy pada Maret lalu melarang NTT merekrut banyak CPNS karena termasuk di 27 propinsi yang belanja pegawainya di atas 50 persen.

Rendahnya PAD ini tentu dilatari oleh kekurangan yang ada. Sektor pariwisata yang digadang-gadang menjadi unggulan belum diperhatikan Pemprov/Pemda secara maksimal. Program kerja sama penjualan sapi ke DKI belum terlihat hasilnya. Usaha Kecil Menengah (UKM) masih didominasi oleh para pendatang yang memang ulet dan pandai membaca peluang.

Melihat kenyataan ini, tentu PAD NTT belum bisa menaikan gaji PNS, pegawai kontrak, guru honorer dan layaknya di Jakarta. Setali tiga uang, tuntutan budaya, dan pola hidup konsumerisme tidak sebanding lurus dengan gaji PNS. Bahkan, kalau mau jujur, menjadi PNS di NTT masih berkutat dari persoalan gengsi, harkat sosial di masyarakat. Seorang sahabat penulis di Manggarai mengatakan, "Eeee, ngasang kali PNS ho'o bo te tu'ung do raung agu ata," (PNS hanya namanya saja, lebih banyak ngutang daripada gaji yang ada). Tentu menjadi PNS bukan tidak diperjuangkan tapi bukan satu-satunya atau tujuan utama.

Hidupkan UKM dan maksimalkan SDM

Predikat kurang di sana-sini masih menjadi kabar yang tak enak bagi orang NTT. Di tengah itu, kasus korupsi masih bertengger di daftar propinsi terkorup di Indonesia). Masih maukah menjadi PNS?

Mungkin darah NTT bukan terlahir sebagai suku pandai berdagang seperti suku Bugis, Makasar dan Cina. Tapi orang NTT terlahir sebagai suku yang pantang menyerah. Orang NTT tak kekurangan cendikiawan, tak kurang ulet seperti suku lainnya. Hanya saja potensi-potensi yang ada di NTT belum dimaksimalkan (atau mungkin sudah dimulai tapi kurang dalam inovasi dan sebagainya). Kita masih tertidur lelap, sementara daerah-daerah lainnya sudah jauh lebih maju dalam berinovasi. Dan peran pemerintah daerah lah yang dibutuhkan saat ini. Pemerintah mencari solusi agar UKM bisa menjadi solusi bagi anak muda NTT dalam ketersediaan lapangan kerja dan tentunya menggenjot PAD, bukan hanya mengejar target menjadi PNS.

Kapan itu terealisasi? Ataukah kita orang NTT tidak mempunyai figur seperti Ahok, Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini?



Kalau DKI Jakarta tolak Ahok, ayo kita boyong dia ke NTT...

Comments

  1. setuju saudara....buat rekomendasi disetiap daerah di ntt utk pak ahok

    ReplyDelete
  2. Mksh Kaka. Sudah ada kerja smaa hanya kita saja yg tdk siap betul di ntt

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Belajar laptop, cerita anak di perbatasan Timor Leste