Indonesia dan ingatan yang sakit


Hasil gambar untuk monumen pancasila saktiSaya masih ingat pembicaraan dengan seorang anak dari salah satu jenderal Pahlawan Revolusi. Sebut saja namanya AN. Dia masih kecil kala ayahnya diberondong puluhan peluru oleh pasukan Cakrabirawa. Di bawah mata ibunya, sang ayah tewas dan diseret ke Lubang Buaya.

Di otak AN, kenangan itu sangat menyakitkan. AN mengingat tentang darah sang ayah yang menggenangi kamar dan luka batin mereka bertahun-tahun. Tapi yang paling menyakitkan adalah biasnya informasi yang mereka terima.

"Saya sedang mengumpulkan data tapi yang lebih penting adalah bagaimana kalian kaum muda membuka tabir gelap itu," pesannya kepada saya kala itu.

Peristiwa 30 September 1965 tak sekedar peristiwa masa lampau. Ingatan sejarah menguak fakta kejam atas apa yang dialami enam jenderal, satu perwira dan para korban lainnya.

Setiap tahun, kita diingatkan lagi pada sejarah itu. Monumen Pancasila di Kelurahan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur merupakan bukti sejarah yang menggambarkan peristiwa itu. Di sana terdapat reka ulang peristiwa, lengkap dengan lakon patung peraga.

Pertanyaan yang menggelitik adalah apakah para jenderal ini semuanya dibunuh atau disiksa sebelum dibunuh? Apa yang melatari perlakuan yang kejam itu kepada mereka? Pertanyaan itulah yang menghantar kita pada perdebatan panjang yang tak mengenal ujungnya ini.

Hasil gambar untuk pkiBukti empiris para pelaku sejarah yang cukup dekat waktu itu hampir mengatakan sebagian dari mereka disiksa lalu dibunuh. Ada yang ditembak mati di kediaman mereka masing-masing. Lalu para jenderal merupakan korban dari gerakan yang ingin melakukan kudeta dan dialamatkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kala itu merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia.

Akan tetapi, setelah rezim Orde Baru runtuh, terutama oleh akses informasi yang bisa didapat kapan dan di mana saja, paradigma atas sejarah '65 mulai berubah. Sedikit demi sedikit peristiwa itu mulai terkuak. Tentang kebohongan, tentang propaganda, tentang perebutan kekuasan. Tentang fakta yang kadang membias dan hampir tak seiya-sekata mengenai asal muasal peristiwa. Ragu, setengah percaya, dibuat oleh rezim yang berkuasa. Itulah komentar yang berkembang sekarang ini.
 

51 tahun berlalu muncul gagasan untuk rekonsiliasi dari pemerintah. Bertempat di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, mereka yang di-PKI-kan dan anti-PKI diundang duduk bersama. Atas itikad baik mendamaikan masa lalu, simposium nasional itu digelar dengan tajuk 'Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan'.






Hasil gambar untuk monumen pancasila sakti
AN menyambut baik gagasan itu namun tidak ikut ambil bagian. Rasa khawatir masih mendominasi, takut-takut dia dikucilkan dari sebuah rezim. Dia memilih diam. AN juga tak memilih terlibat di simpoisium tandingan di Balai Kartini, Jakarta Selatan.

AN hanya berpesan biarlah sejarah masa lalu menjadi titik balik bangsa ini. Negara akan kuat jika dia menerima sejarah kelam sebagai bagian dari dirinya tanpa bermaksud menegasinya. Indonesia, akan tetap sakit dalam ingatannya jika peristiwa 65 ditutup-tutupi bagi generasi masa depan. Itu kata AN.

Comments

Popular posts from this blog

NTT miskin, masih maukah jadi PNS?

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Belajar laptop, cerita anak di perbatasan Timor Leste