Membela Jessica Kumala Wongso



Malam yang dilematis bagi Mirna ketika mendapati handphonenya dikirim pesan oleh Jesica. Mereka harus bertemu di Kafe Ceria besok pagi pukul 9.00 WIB. Mirna tahu itu bukan waktu yang tepat untuk bertemu Jesica, sahabatnya itu. Tapi isi pesan Jesica seperti berkuatan magis, menarik logika dan kata hati kecilnya. Ada satu hal yang mereka bahas. Sesuatu yang sangat rahasia bahkan paling rahasia di antara hubungan mereka selama ini.

Pertemuan itu pun terjadi. Jesica datang sejam dari waktu yang dijanjikan. Detak jantungnya sangat tak normal, bahkan melewati irama jarum detik. Dia tidak sabar, sesekali melihat keluar siapa tahu Mirna sudah datang.

Pukul sembilan lebih lima belas menit Mirna datang. Jesica senang, Mirna membaca pesannya semalam jika dia datang harus seorang diri. Tapi terkejut ia ketika melihat seorang lelaki mengejar Mirna. Di depan matanya, lelaki itu mengecup pipi pipi Mirna. Jesica jadi cemburu tapi dia menyimpannya dalam hati.

Mirna dilihatnya tersenyum ketika lelaki itu hilang. Tapi rasa cemburu itu tetap bergejolak. Jesica mengambil sesuatu dari dalam tas dan menyimpannya di lembaran tisu. "Aku harus membalas rasa cemburu itu," katanya dalam hati.

"Maaf, aku telat," kata Mirna. "Apa yang ingin kamu katakan?

Jesica menunggu waktu yang tepat. Dia tidak ingin terburu-buru. Rencana itu sudah matang. Dia tidak ingin hancur berantakan karena rasa cemburu yang muncul itu.

"Kamu tahu, persahabatan kita lebih dari segalanya, bahkan lebih dari pilihanku untuk menikahinya," ujar Mirna. Mirna sudah memikirkan kata-kata itu ketika membaca pesan Jesica berulang-ulang. Bahkan matanya sedikit sembab. Dia memanipulasinya dengan sedikit riasan tebal di bawah matanya pagi ini.


"Aku sudah memikirkan jika harus kembali ke Nice bulan depan," celetuk Jesica.

"Tapi kamu sudah berjanji akan menemaniku di sini," desah Mirna.

"Ya, aku ingat janji itu dan tak berniat untuk mengingkarinya."

"Tapi kepulanganmu ke Nice tetap jadi kan? Apa bedanya!"

"Bedanya, kamu tak lagi sendiri dan aku ingin melanjutkan hidupku di sana," jawab Jesica. "Dan satu hal yang harus kamu tahu, persahabatan kita tetap lebih dari segalanya."

Jecisa meminta diri untuk ke toilet. Mirna mengangguk mengiyakan tapi matanya sembab. Air matanya melunturkan riasan di bawah matanya. Dia meneguk air putih milik Jesica.

Tiba-tiba semuanya gelap. Mirna megap-megap, menggapai apa saja di atas meja. Dia mencari telpon untuk menelepon suaminya. Jantungnya seperti terbakar. Panas. Sesudah itu ia tidak ingat lagi dan mendapati dirinya dikerumuni banyak orang. Dia melihat orang-orang mengguncang tubuhnya. Mirna berteriak jika dia masih hidup.

Dia mendekati Jesica jika dia masih di sana. Tapi perempuan itu dilihatnya terdiam kaku. Sahabatnya itu menangis. Dia hanya membaca sebuah kertas yang ditulis Jesica. "Karena aku tahu hubungan kita lebih indah daripada sebuah ikatan perkawinan. Dan keputusanku untuk pulang ke Perancis adalah satu hal yang tak bisa kuungkapkan jika aku harus memilih suatu hal yang sebenarnya tak bisa kujalani kini."
Jenasah Mirna diangkat oleh orang-orang. Berita pun berkembang, Mirna dibunuh Jesica dengan racun cinta yang ditaruhnya dalam air putih.

Tulisan di atas hanyalah sebuah cerpen. Kasus kopi maut bersianida sudah berjalan 8 bulan lebih sejak I Wayan Mirna Salihin tewas di Kafe Oliver, Jakarta Pusat.


Dilema Jessica
Kasus ini menyeret perhatian publik. Tak sedikit komentar-komentar netizen yang menempatkan Jessica Kumala Wongso sebagai pelaku dan berharap mendapat hukuman yang setimpal. Tidak salah, sebab publik mendapat itu dari media massa sesuai konfirmasi BAP di Polda Metro Jaya, termasuk reka ulang kejadian dan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan.

Tapi di depan publik, Jessica membela diri sebagai orang tidak bersalah. Dia menyewa pengacara kondang Otto Hasibuan untuk meyakinkan publik bahwa segala tuduhan itu tak berdasar.

Jika tidak bersalah dan bukan sebagai pembunuh Mirna, Jessica tentu menyadarinya dalam hati. Tapi persoalan di sini, kebenaran sebagai bukan pelaku hanya bisa dibuktikan dalam persidangan. Pula jika dia bersalah, tentu ada titik kebenaran itu akan menemukan dirinya saat Jessica sudah kelelahan berkelit.

Menyadari diri sebagai pelaku di tengah jauhnya dia sudah membela diri tentu menjadi persoalan bagi Jessica. Beranikah Jessica mengaku sebagai pelaku? Jika benar dia sebagai pelaku, sanggupkah dia menerima cercaan publik dan resiko dihujat? Sanggupkah dia menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Mirna atas perbuatannya itu? Saya berandai-andai, pertanyaan itulah yang berkecamuk di hati dan pikiran Jessica. Tapi kenapa dia membela diri? Hanya Jessica yang tahu. Dia punya alasan dengan menyampaikan pembelaannya.

Jessica, seperti tuduhan yang dialamatkan kepadanya seolah-olah tidak berdampak. Dia terus membela diri sampai kehabisan uang dan tenaga. Namun, niat ini harus dihargai. Dia punya hak untuk membela diri terlepas dia bersalah atau tidak. Dan jika suatu saat dinyatakan bersalah, dia sudah melewati sebuah pengadilan. Dan keputusan pengadilan itu harus memuaskan rasa keadilan itu sendiri, baik bagi Jessica dan terutama bagi kelurga Mirna.

Hanya, pengadilan dunia selalu memihak. Socrates saja bisa mati oleh sebuah pengadilan meskipun benar. Dan Jessica bisa benar, juga bisa salah.














Comments

  1. Sesudah melewati sidang duplik, apakah kita masih berkeras menggunakan kacamata kuda dalam menilai - tepatnya menuduh - Jessica bersalah?
    Jujur saja melihat cara JPU mendakwa dan berbicara selama sidang saya tidak melihat sikap mereka sbg pembela kebenaran. Mereka lebih berupaya sbg org2 yg berjuang menjebloskan sso ke dalam penjara.
    Saya dan mungkin banyak org lain malah semakin yakin Jessica tak bersalah.
    Mungkin alibinya mengarah kpd Jessica. Tapi alasan pembunuhan justru aneh. Harusnya Jessica bersyukur atas nasihat Mirna bukan? Logika jpu terlalu dipaksakan.
    Lagi terlalu bodoh sso membunuh org lain dg cara langsung spt ini, di depan sekian cctv, di tempat yg barubsekali ia kunjungi.
    Hal lain ketidaklengkapan bukti dan fakta hukum termasuk otopsi menunjukkan polisi dan jpu terlalu memaksakan diri.
    Apalagi bbrp hal yg berlawanan spt hasil labfor 70 menit yg negatif sianida malah jadi ada 0,2 mg sianida ssdh 3 hari. Saya curiga ini hasil reaksi formalin.
    Lalu tgl 7 barang bukti sudah di labfor, tapi kok bisa tgl 8 malah masih di polsek.
    Sejak awal kasus ini saya percaya ada permainan dalam hal ini.
    Atau bagaimana pendaoat saudara?

    ReplyDelete
  2. Terima kasih untuk komentarnya Sdr. Saya tidak punya komptensi untuk mengatakan Jessica salah dan benar. Sy hanya melihat satu hal, menuduh Jessica kadang begitu cepat melalui pemberitaan media yg juga disiarkan langsung. Menempatkan Jessica sebagai pembunuh tentunya perlu Dikritisi, ditelaah dan menggunakan semua kemampuan pengadilan. Tidak sekedar mengada-ada.

    ReplyDelete
  3. Ya. Kita sepakat kawan. Dan saya suka dg tulisan fiksi dg percikan ide dari kasus ini, apapun bentuknya. Entah Jessica salah atau ada peraekongkolan pihak aparat penegak hukum atau hanya sebuah kesialan. Bukankah fiksi adalah dunia andai2. Andai dia pembunuh maka apa yg sesungguhnya terjadi? Andai bukan maka apakah yg terjadi. Selamat menulis teman.

    ReplyDelete
  4. Makasih banyak Sdr. Kalaupun Jessica bebas dan merupakan pelakunya, dia boleh melewati pengadilan dunia dengan kemenangan. Masih ada pengadilan akhir. Sebagai manusia, kita hanya bisa belajar dari kasus ini terutama arti sebuah keadilan. Untung, misalnya Jessica punya modal banyak, kalau tidak mungkin nasibnya sama dengan pencuri sandal atau kayu yang divonis bersalah hanya untuk mempertahankan hidupnya.

    ReplyDelete
  5. Mantaps ase...apa pun keputusan pengadilan sama sekali tidak membuktikan bahwa Jessica bersalah demikian pun sbaliknya membebaskan tdk berarti Jessica tdk bersalah....Jaksa tdk membuktikan apa2....

    ReplyDelete
  6. Mksh byk Kae. Semoga Keadilann itu mendapat tempatnya Kae , terlepas dia salah atau benarnya Jessica .

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

NTT miskin, masih maukah jadi PNS?

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Belajar laptop, cerita anak di perbatasan Timor Leste