Saat hati Jokowi gatal dan Fahri Hamzah membual

Dari sekian masyarakat yang mengapresiasi langkah Presiden Jokowi ikut melihat proses OTT di Kemenhub, Selasa (11/10) kemarin, hanya politikus PKS Fahri Hamzah yang memberikan tanggapan keras. Dia menilai, Jokowi hanya cari sensasi karena banyak hal sama dilakukan oleh oknum di negeri ini.

"Kalau sekadar sensasi mendatangi tempat ada uang puluhan juta yang dipungut, ini tuh titik sampah di tengah masyarakat kita banyak. Tapi, apa itu jadi urusan Presiden?" ujar Fahri.


Fahri menilai tak ada urgensi sekelas Presiden Jokowi mendatangi tempat itu. Sebab pungli menurut Fahri meruapakan gejala yang sama dan terjadi dari instansi atas hingga ke tingkat desa di Republik ini. Apakah Jokowi bisa mendatangi semua desa? Itu pertanyaan Fahri kepada Jokowi. Dia meminta Jokowi tak sibuk hanya urus gejala dan meminta stop pungli tapi lebih menyiapkan strategi secara matang.

Fahri memang jagonya mengkritik Jokowi. Apapun langkah sang Presiden pasti tak luput dari kritiknya. Ya tidak salah. Suara Fahri adalah suara Senayan. Lembaga penyumbang suara buat memantau pergerakan Pemerintah.

Apakah presiden kita kurang kerjaan karena ikut melihat proses tangkap tangan di Kemenhub? Apakah Jokowi hanya mencari muka biar publik tahu betapa sewot hatinya melihat pungli masih ada di mana mana? Bukan. Istana Merdeka dan kuping presiden kita terlalu bising dengan laporan-laporan korupsi dan pungli di negeri ini. Kedatangannya ke Kemenhub memberi sinyal jika negeri kita tak mau dibilang negara gagal meringkus koruptor. Mungkin juga terlalu ahumanis jika pakai cara Presiden Duerte di Filipina.

Kedatang ke Kemenhub tentu menjadi keresahan Jokowi juga sebab dia baru saja meluncurkan Operasi Pemberantasan Pungli. Siapa yang hatinya tidak gatal coba. Apalagi Jokowi selalu mengedepankan kecepatan pelayanan daripada bertele-tele dengan birokrasi yang sarat dengan pungli.

Saya membayangkan kalau Presiden Jokowi hanya bilang kerja dan stop pungli, seruan itu mungkin hanya sebatas imbauan moral. Lalu bawahan ikut tapi tapi pungli dan korupsi mark up proyek tetap menjadi prilaku yang biasa.

Lalu kenapa saya katakan Fahri membual? Ya kritik boleh saja, tapi masalah korupsi dan pungli di negara ini adalah penyakit akut yang tak kunjung sembuh. Dan Fahri tahu akan hal itu tapi hanya cukup menyuruh Jokowi menyiapkan strategi.

Seharusnya, sebagai anggota dewan, dalam masalah korupsi dia lebih sepakat untuk tegakan aturan. Bukankah membual namanya kalau masalah korupsi di depan mata tapi justru kritik lebih banyak pada sebuah pilihan untuk katakan tidak pada korupsi? Atau jangan-jangan Fahri malah pro terhadap korupsi?



Comments

Popular posts from this blog

NTT miskin, masih maukah jadi PNS?

Gereja Ayam, simbol kebangkitan pribumi

Belajar laptop, cerita anak di perbatasan Timor Leste